MENYATUKAN PERSEPSI, MENAUTKAN HATI, DENGAN KOMUNIKASI

Menerapkan Kaidah Komunikasi Produktif pada Pasangan 

Komunikasi Produktif Game Level 1 Day #3

Partner : Suami

Masalah utama : Ada perbedaan persepsi antara saya dan suami tentang definisi "tugas istri" yang berkaitan dengan kebahagiaan suami

Kaidah yang digunakan : Intensity of Eye Contact, Clear & Clarify, dan 7-38-55

Cerita :
Sejak saya masih remaja, saya selalu beranggapan bahwa istri yang baik adalah yang jago masak, rajin bersih-bersih rumah, juga merawat diri agar suami dan anaknya betah di rumah. Imaji itulah yang terus saya bawa hingga kemudian saya menikah. Saya mencoba menerapkan kriteria-kriteria itu dalam rumah tangga kami. Mati-matian saya belajar masak. Hampir setiap hari menelepon Ibuk cuma buat tanya resep. Dan hampir setiap hari pula rajin scroll situs dan aplikasi yang menyediakan ragam menu masakan beserta resepnya. Demi menghasilkan makanan yang enak, atau minimal, layak. Hahaha. Kalau diingat-ingat lagi sekarang, rasanya inging ketawa. Sebegitu kerasnya saya mematok standar menjadi istri yang baik. Tapi setidaknya, usaha saya itu cukup mulus di tahun pertama pernikahan, sebelum anak kami lahir.


Clear and Clarify Komunikasi Produktif
Ilustrasi keluarga kecil. Sumber: doc.pribadi

Tantangan mulai muncul perlahan setelah anak kami lahir. Saya agak kerepotan ketika harus rutin memasak dan beres-beres rumah sementara bayi mungil yang menggemaskan itu sedang aktif-aktifnya melatih skill motoriknya. Saya pun mulai kehabisan ide mau masak apa. Bukan karena sudah terlalu banyak ragam menu yang saya coba, melainkan karena saya hanya bisa masak yang itu-itu saja. Sampai di titik dimana saya tidak masak sama sekali karena bingung, saya menangis. Merasa tidak becus. Tapi saya tetap ngotot ingin selalu masak dan beres-beres rumah. Bagi saya, kondisi rumah yang tertata rapih dan makanan sudah siap tersaji adalah kebahagiaan tersendiri. Lagipula, suami sudah lelah bekerja seharian. Andai beliau pulang dan melihat rumah dalam keadaan berantakan, makanan belum matang, pastilah rasa lelahnya bertambah-tambah. Kasihan, pikir saya. Maka sebisa mungkin pekerjaan domestik sudah kelar sebelum beliau pulang.

Tak jarang saya melakukan kesalahan. Mungkin karena saya terlalu memaksakan diri. Ledakan paling besar terjadi beberapa waktu yang lalu, saat beliau pulang dari kantor lebih cepat dan rumah belum beres. Saya, istrinya yang durhaka ini, bukannya menyambut beliau dengan hangat, justru sibuk menyelesaikan sisa pekerjaan rumah yang menurut saya tinggal sedikit. Sampai saya tidak mendengar apa-apa ketika beliau meminta tolong. Suami marah. Suasana menegang. Beliau jadi dingin, dan saya takut.

Beberapa waktu setelahnya, beliau jadi tampak kesal setiap kali melihat saya sibuk dengan urusan dapur. Saya bingung. Padahal saya sedang berjuang melayani beliau, berusaha menjadi istri yang banyak bisanya, saya mengusahakannya semampu saya, tapi kenapa tidak dihargai sama sekaliiii? *Saya meraung dalam hati

Kemudian.. hidayah pun datang. Bukan kepada beliau yang tidak menghargai saya, melainkan kepada istrinya yang ternyata egois.

Dalam diskusi materi Komunikasi Produktif di kelas Bunsay Jakarta-Banten yang saya ikuti, Mbak Vita, fasilitator kami, membagikan sebuah contoh kisah, yang kemudian membuat saya TERTOHOK.

Begini bunyi kalimatnya;

Contoh kasus komunikasi produktif yang dibahas di Kelas Bunsay IIP #5. Sumber: WAG


"Komunikasi menjadi bermasalah ketika menjadi MEMAKSAKAN pendapatku kepadamu.

Contoh sederhana, ya…

Istri menganggap, kalau DITANGANNYA rumah menjadi rapi jali dan makan malam siap hidang di meja makan saat suami pulang adalah hal yang akan membuat suami bahagia melihatnya, bangga kepadanya. Dan istri tetap saja ngotooot begitu, padahal itu adalah standarnya sendiri tanpa pernah ada komunikasi. Kenyataannya, suami justru lebih suka kalau ia datang, melihat istri yang cantik mewangi, senyum merekah merah, dan siap mendengar keluh kesah. Tak apa rumah masih bak kapal pecah, bisa dibereskan bersama, daripada semua dirumah beres, tapi wajah istri uring2an, mengeluh karena kecapean, ujungnya suami justru tak bisa mencari wadah untuk menampung keluh kesahnya.

Maka itu DON’T ASSUME, biasakan menggunakan kaidah CLEAR & CLARIFY."


Mak jleb!
YA ALLAH INI SAYA BANGETTTT!!! 😭😭😭
KOK BISA SIH. HUWAAAAA


Saya merasa tersindir sekali, tapi sekaligus merenung. Benar juga ya, bisa jadi selama ini suami menginginkan hal yang lain dari saya. Kenapa saya tidak pernah bertanya? *Tiba-tiba hati mendung

Maka kemarin malam, tepatnya pada tanggal 29 Maret 2019 menjelang pukul 00, setelah Anak kami tidur, saya mengumpulkan keberanian untuk mengajak beliau bicara dari hati ke hati. Bagaimanapun, permasalahan ini harus tuntas.

"Mas.." Saya memanggil beliau dengan suara lembut dan menatap matanya. Kali ini saya mengawali percakapan menggunakan kaidah 7-38-55, dimana intonasi suara dan bahasa tubuh memiliki pengaruh yang lebih tinggi dari sekadar kata-kata. (7% aspek verbal, 38% intonasi suara, dan 55% bahasa tubuh).

Suami saya, yang saat itu sedang bermain hape, menoleh ke arah saya. Lalu membalas, "Ya?"

Saya menarik napas pelan. Dalam hati terjadi keributan, ngomong gak yaaa.. ngomong gak ya.

"Mm.. aku mau ngasih lihat sesuatu." Jawab saya, tetap dengan intonasi yang lembut, lalu menatap matanya dengan tatapan sayang.

Beliau kemudian meletakkan hapenya dan fokus kepada saya. Saya mendekat dan menunjukkan pesan teks yang ditulis Mbak Vita, sembari membacakannya pelan. Setelah selesai membaca, saya pun bertanya pelan, "Ini bener gak sih, Mas?"

"Ini kamu banget nih." Begitu komentar pertama beliau. Heuheu. Iya sih emang. 

"Hehehe, makanya aku tanyakan ke Mas, emang kalau para suami lebih senang istrinya cantik tersenyum menyambut kedatangannya begitu, ya, ketimbang sibuk beberes rumah tapi uring-uringan?" Mulai masuk ke kaidah Clear and Clarify.

"Ya tiap laki-laki bisa beda pendapat."

"Kalau Mas gimana senengnya?"

"Aku?" Tanyanya. "Aku tuh lebih seneng kamu aktif."

"Aktif?" Saya bertanya bingung. Aktif yang bagaimana maksudnya?

"Iya, aktif yang menghasilkan. Aktif nulis, nggambar-nggambar, apapun kegiatan yang kamu suka. Daripada sibuk ngerjain pekerjaan rumah yang sebenarnya bisa dilimpahkan ke orang lain."

Saya terdiam. Sungguh, saya terdiam. Jawaban beliau sungguh di luar dugaan dan sukses membuat saya bungkam.

"Masak nyuci itu bukan hal yang wajib kamu kerjakan. Ya kalau dikerjakan memang bagus, tapi gak harus. Aku tuh pengennya kamu hepi-hepi aja. Ga perlu musingin rutinitas yang gak penting."

Seketika saya berlinang air mata. Tangis saya pecah. Ternyata sesuci itu harapan beliau.

"Maaf ya, Mas. Selama ini aku sudah egois, menganggap sesuatu benar tanpa konfirmasi ke Mas." Kata saya sambil menahan isak. "Soalnya aku bisa badmood kalau belum selesai masak dan beberes rumah ketika Mas pulang."

"Ya itu kan standarmu sendiri." Suami menimpali santai. "Aku ga pernah menuntutmu untuk melakukan semua itu."

"Iya, maaf ya."

"Ga perlu memaksakan diri, Dek. Jangan sampai Asqi yang terkena dampaknya." Suami mengakhiri dialog malam itu dengan mengusap kepala saya pelan.

Isak saya makin menjadi. Bahkan untuk berkata, "Iya, Mas," sekali lagi pun saya tak sanggup.


***

Saya sadar bahwa dalam pernikahan, tidak ada hasil yang pasti selayaknya 1+1=2, istri jago masak+rajin bersih-bersih=suami bahagia. Tidak ada yang bisa memastikannya. Kesuksesan sebuah hubungan selalu membutuhkan dua hal sebagai kunci; KOMUNIKASI, lalu diikuti dengan KOMPROMI.

Masing-masing dari kita harus tahu bahwa pasangan kita lahir dari "rahim" yang berbeda, tumbuh di lingkungan yang berbeda, dan mengalami berbagai hal dalam hidupnya yang juga berbeda dari kita. Buku-buku yang dibaca, karakter orang-orang terdekat, kejadian-kejadian tak terlupakan, semua itu menjadi faktor-faktor yang membentuk persepsi seseorang terhadap suatu pesan. Kita harus sadar pengalaman hidup masing-masing orang tidak sama. Maka jika dalam suatu hubungan terjadi perbedaan persepsi, itu sangat wajar.

Yang wajib kita lakukan kemudian hanyalah BERKOMUNIKASI. Komunikasi yang bertujuan untuk "membagikan yang kutahu padamu", bukan "memaksakan pendapatku kepadamu". Kalau gaya komunikasi kita tepat, saya yakin akan muncul kompromi-kompromi yang melahirkan persamaan persepsi. Kelak, persepsi itulah yang akan menjadi nilai yang dipegang bersama.

Terima kasih sudah mau membaca tulisan ini.

Diketik dengan rasa syukur yang tiada batas,
Jakarta, 30 Maret 2019

***

Referensi:

Institut Ibu Profesional, Komunikasi Produktif: Materi Kelas Bunda Sayang Sesi #1, e book, 2019

Diskusi dengan seorang teman bernama Roch Muliani 💙

1 komentar:

  1. Yang sering terjadi dan banyak terjadi memang istri merasa seperti harus bisa ini dan itu. Harus jadi super power. Apalagi pas punya anak. Suamiku pernah bilang "kadang wanita itu sibuk menjadi ibu yang baik, tapi lupa caranya menjadi istri".

    BalasHapus