"Rau, operan pasien ya."
Salah satu rekan kerja dari ruang bersalin menghampiri saya pagi itu. Mbak Tya namanya. Tangannya memegang satu map penuh berisi data pasien. Diletakkannya map itu terbuka di atas meja saya, kemudian mengeja, "Pasien 2 jam post partum, Ny. A, 18 tahun, dengan..."
"He? 18 tahun? Lagi?" Saya reflek memotong kalimat Mbak Tya. Kemudian nyengir, "Hehe, maaf, Mbak. Monggo dilanjut operannya."
Hamil di Usia Muda
Ilustrasi Ibu Hamil dan Janin dalam Kandungan. Credit Foto: @Ranafiu |
Dalam seminggu ini, sudah ada belasan pasien persalinan yang kisaran usianya di bawah dua puluh. Kebanyakan dari mereka memang baru pertama kali melahirkan, tapi tidak sedikit pula yang sudah melahirkan anak kedua, bahkan ketiga. Beberapa hari yang lalu, misalnya, datang pasien sembilan belas tahun hendak melahirkan anak kedua, dengan satu kali riwayat keguguran. Artinya, dia sudah tiga kali hamil--dalam usia sebelia dan seunyu itu. Ketika saya telusuri datanya, ternyata dia menikah pada usia enam belas tahun. Usia di mana saya masih asik nongkrong di bangku kantin sambil ngerumpiin kakak kelas yang wajahnya seimut Bondan Prakoso.
Adalah pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi: "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun." Yang kemudian menjadi dasar diperbolehkannya pernikahan usia belia di masyarakat. Saya yakin, ada banyak pertimbangan mengapa pemerintah masih saja mempertahankan kebijakan yang sudah melewati masa 40 tahun itu. Saya juga yakin selalu ada alasan dibalik sikap pemerintah yang keukeuh memegang aturan bahwa remaja perempuan yang belum genap tujuh belas tahun dan merasakan bahagianya punya E-KTP itu sudah boleh dinikahkan. Seperti, misalnya, MK yang menolak menaikkannya menjadi delapan belas dengan alasan kebijakan tersebut dianggap tidak menjamin turunnya angka perceraian, permasalahan kesehatan, maupun sosial. Ya, selalu ada alasan dan pertimbangan tertentu--sekalipun itu wagu. Mungkin MK menunggu datangnya tahun di mana Angka Kematian Ibu (AKI) menembus digit 1000 per 100.000 kelahiran hidup, dan lebih dari 50 persennya masuk ke dalam klasifikasi usia di bawah dua puluh, atau Angka Kematian Bayi (AKB) mencapai 500 per 1.000 kelahiran hidup, baru kemudian MK akan menyadari bahwa usia calon ibu ikut berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan anak. (Astaghfirullah, astaghfirullah.)
Berlandaskan teori kebidanan dan kedokteran kandungan, usia yang baik untuk bereproduksi adalah antara 20-35 tahun. Pada usia dua puluh, perempuan dianggap siap bereproduksi bukan semata karena semua organnya telah matang untuk dibuahi, tetapi juga mempertimbangkan kedewasaan mental.
Lho, kedewasaan kan tidak mesti diukur berdasarkan umur, Bu Rau?
Ya itu kan alibimu saja biar bisa pacaran sama om-om. Maaf, maksud saya, dewasa yang bagaimana dulu? Usia memang tidak bisa menjadi faktor yang berdiri sendiri untuk menentukan kedewasaan seseorang, tapi kestabilan emosi, kematangan pikir, dan cara dia mengambil sikap secara bijak terhadap permasalahan yang timbul, memiliki tahap. Dan tahapan-tahapan itu bisa diklasifikasikan dalam satuan waktu. Mbok pikir, kenapa pembuatan SIM (A, C, dan D) harus dibatasi, hanya diperbolehkan bagi mereka yang sudah berada di atas garis tujuh belas? Sementara untuk perkara naik-nyetater-ngegas-ngerem-belok-berhenti, anak yang baru lulus SD pun bisa. Kenapa coba? Ya karena pada usia tersebut, seseorang dinilai telah memiliki kesadaran dan kemampuan untuk memegang kendali atas dirinya sendiri, kendali atas stang motor dan setir mobilnya, juga kesadaran akan rambu-rambu lalu lintas serta emosi-emosi yang mungkin muncul di tengah jalan--misal, sepuluh meter di depan mata ada nenek-nenek menyebrang jalan tanpa zebra cross, mau ngerem apa terjang nih?
Yah, begitulah hidup dalam tata aturan negara. Hal-hal paling abstrak sekalipun, seperti kesadaran manusia, dipaksakan memiliki ukuran yang dapat diterjemahkan dalam teks.
Menurut penuturan awam, alasan terbanyak yang mendorong seorang perempuan menikah lalu hamil di usia belia adalah faktor ekonomi. Tahu sendiri lah ya bagaimana kondisi perekonomian negara kita. Di luar begitu anggun dengan menjadi salah satu negara asal jamaah haji terbesar di dunia, tapi dari dalam korupsi menggerogotinya pelan-pelan. Hihihi. Agak goncang-goncang gimana gitu. Kek-kek naik angkot yang ban kanan belakangnya bocor. Maka menikahkan anak perempuannya sesegera mungkin dianggap para orang tua sebagai kunci penyelesaian masalah sandang-pangan-papan. Prinsipnya, dengan menikahkan, beban keluarga berkurang, dan dengan begitu diharapkan setatus perekonomian naik tingkat dari "kurang" menjadi "cukup". Kalau kita sepakat untuk berhenti di sini, maka kamu akan mendapati bahwa satu masalah telah terselesaikan. Tapi, cobalah untuk lebih visioner. Memandang jauh ke depan. Kamu akan tahu bahwa itu bukan solusi yang tepat.
Memaksakan organ reproduksi
bekerja sebelum mereka siap menanggung beban hasil pembuahan itu ibarat
membuat batu bata, yang seharusnya dijemur dan dibakar terlebih dahulu,
dia langsung digunakan untuk mendirikan bangunan. Ya rapuh lah. Kayak
hatimu itu lho.
Psikologi Perempuan dan Anemia
Perempuan
adalah makhluk paling kompleks sejagad semesta, terlebih lagi saat
masih remaja. Mereka memiliki kadar emosi lebih besar daripada logika,
dan menggunakan keistimewaan itu di hampir setiap persoalan. Mayoritas
mereka tumbuh dalam satu gengsi yang mendarah daging; tidak senang
terlihat gendut. Sebab, barbie adalah simbol kesempurnaan, dan tidak ada
barbie yang gendut. Maka untuk tampil sempurna, menjadi sekurus barbie
adalah sebuah keharusan. Fatalnya, kebanyakan mereka menginginkan cara
dan hasil yang instan. Alih-alih rutin olahraga dan menjaga pola makan
sehat, mereka justru mengonsumsi obat pelangsing, yang mirip-mirip obat
pelancar BAB. Atau jika uang sakunya tak cukup untuk membeli produk
mahal semacam itu, mereka akan menggunakan cara ini: mengharamkan
sarapan pagi, makan siang dengan seporsi siomay atau semangkuk bakso
tanpa lontong, sorenya minum air putih saja yang banyak sampai air di
bak mandi habis cuma buat cebok setelah bolak-balik kencing. Lalu
malamnya menahan lapar, sampai sang nafsu membawa mereka pada gagalnya
diet sebab indomie goreng ternyata lebih nikmat dari teleponan sama
pacar. (Lho lho lho, kok hapal banget?) Mereka lupa, siomay dan bakso
tidak memiliki apa-apa selain karbohidrat, (secuil protein kalo baksonya beneran pakai daging), dan lemak. Mmph.. ditambah
sedikit MSG untuk indomie gorengnya. Lha kalau begini terus, mau dapat
gizi dari mana?
Laki-laki
dan perempuan itu berbeda, baik secara anatomi maupun fisiologinya.
Produksi sel darah merah pada perempuan lebih rendah dari laki-laki.
Kadar Hb yang normal pada perempuan adalah 12-15 gr/dl, sedangkan laki-laki 13-16 gr/dl.
Perlu
kamu tahu, anemia adalah kondisi di mana darah kekurangan zat besi,
atau kadar Hb dalam darah berada di bawah batas normal. Teman seangkatan
saya di kampus kebidanan dulu, pernah menyusun laporan tentang angka
kejadian anemia pada remaja perempuan di suatu sekolah menengah atas.
Dan hasilnya, empat puluh satu koma tiga persen remaja perempuan
menderita anemia dengan Hb kurang dari 12, bahkan kebanyakan di bawah
11. (Huuuww~ mbok seperti saya, Hb-nya 13,7 :D). Itu prosentase yang
besar, tentu saja. Kalau masih remaja saja sudah kurang, bagaimana
nantinya setelah hamil? Sementara dalam kehamilan, ada proses
hemodilusi, pengenceran darah dengan naiknya volume plasma sampai 40%
untuk memperlancar peredaran darah dan meningkatkan aliran nutrisi
terutama yang menuju ke plasenta. Proses ini terjadi sejak awal
kehamilan, tapi memuncak pada trimester kedua (usia kandungan 4-6
bulan). Sayangnya, peningkatan volume plasma darah ini tidak diikuti
dengan kenaikan Hb secara alami. Sehingga kadar Hb di bawah standar
adalah perkara yang wajar. Batas minimal Hb selama kehamilan pun
akhirnya diturunkan, menjadi 11 gr/dl pada trimester I dan III, dan 10,5
gr/dl pada trimester kedua.
Tapi,
betewe, Hb itu apa sih? Hamengkubawono? Hush! Bukan. Bh yang dipakai
terbalik? Bukan juga (-_-). Hb adalah singkatan dari hemoglobin, yang
bertugas mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh melalui sel
darah merah. Kadar Hb yang tidak memenuhi standar akan membuat pasokan
oksigen ke seluruh tubuh menjadi berkurang. Jika otak, dia menjadi mudah
lelah, mengantuk dan tidak fokus. Bahkan pada taraf tertentu, sampai
pingsan. Jika rahim? Nah, ini yang menarik.
Rahim
terdiri dari beberapa lapisan. Tiap-tiap lapisan tersusun dari jalinan
pembuluh darah yang berfungsi sebagai media penghantar nutrisi.
Endometrium, lapisan terdalam rahim, yang menjadi tempat menempelnya
bakal janin ketika sel telur berhasil dibuahi kelak, memiliki pembuluh
darah yang digunakan untuk memasok oksigen dan nutrisi dari ibu ke janin
melalui plasenta. Dia juga yang mengakomodir aliran oksigen di dalam
rahim sebagai modal kontraksi pada saat persalinan. Kontraksi rahim
sebelum bayi lahir bertujuan untuk melahirkan janin dan plasenta, sedang
ketika keduanya sudah lahir, ketika plasenta telah lepas dari endometrium dan menyisakan pembuluh-pembuluh darah yang terbuka, kontraksi dibutuhkan untuk menutup
pembuluh darah dan mencegah keluarnya darah lebih banyak. Kekurangan Hb
hanya akan membuat rahim tidak memiliki cukup energi untuk berkontraksi
(atonia uteri), lalu pembuluh darah enggan menutup, dan darah yang
keluar menjadi tidak terkontrol. Inilah salah satu wujud perdarahan
pasca persalinan. Dan inilah satu dari tiga penyebab kematian ibu
terbanyak di Indonesia.
Ilustrasi Anemia dalam Kehamilan | Credit Foto : Kompasiana.com |
Perdarahan
semacam ini pernah dialami oleh sosok wanita agung bernama R. A.
Kartini menjelang akhir hayatnya. Jeng jeng jeng! Kamu ndak tahu tho,
Kartini wafat karena perdarahan setelah melahirkan? Saya juga baru tahu
setelah kuliah di kebidanan. Itulah mengapa tiap tanggal 21 April, yang
dipercaya sebagai hari lahirnya Kartini, dosen dan mahasiswi di kampus
kami memperingatinya dengan agenda minum tablet tambah darah (Fe) secara
massal. Sebagai bentuk perjuangan melawan anemia--cikal bakal
perdarahan pascamelahirkan. Untuk kemudian memasang hastag di akun
sosmed #kamiMenolakAnemia #ayoMinumFe #kamiTidakTakutFe dan sebagainya.
Itu baru komplikasi pada ibunya, bagaimana dengan janinnya?
Anemia membawa--setidaknya--tiga masalah yang memikiki prosentase kemungkinan tertingi pada janin, yaitu: abortus (keguguran), IUGR (bayi lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2500 gram), dan prematuritas (persalinan sebelum usia kehamilan genap 37 minggu). Ringkasnya, pada kejadian anemia, rahim tidak mendapat cukup oksigen dan nutrisi dari darah sehingga perlindungannya tidak sekokoh seharusnya. Semacam mas pacar yang berusaha melindungimu dari godaan preman pasar, tapi dia belum makan-minum seharian. Keadaan ini membuat rahim sensitif terhadap goncangan. Aktivitas berlebih yang dilakukan ibu saat hamil, kecelakaan seperti jatuh/terpeleset, dan berhubungan seksual terlalu keras adalah contoh hal yang dapat membuat dinding rahim terguncang, dan akhirnya kontraksi. Pada kehamilan muda, ia bisa berujung pada keguguran, sedangkan pada kehamilan tua, ia mengarah kepada kelahiran prematur. Andai kata si janin mampu bertahan sampai sembilan bulan, besar kemungkinan dia IUGR sebab pasokan energi dari ibu melalui darah di plasenta kurang. Bayi prematur, betapapun banyaknya orang yang meyakini bahwa "bayi prematur biasanya lebih pintar", tetaplah merupakan bayi yang lahir dengan organ tubuh belum matang. Otak, paru-paru, jantung, hati, semuanya akan memiliki kecenderungan untuk tidak berfungsi secara optimal. Sedang bayi IUGR, meski ia terlahir matang, memiliki kemampuan bertahan hidup lebih rendah dari bayi yang berat badannya di atas 2500 gram. Imunitas atau daya tahan tubuhnya payah. Stok lemaknya sedikit, sehingga mudah terserang hipotermi. Dalam perjalanannya tumbuh dan bergerak, kedua jenis bayi ini--prematur dan IUGR--rentan terhadap infeksi. Mudah sakit. Dan sangat mungkin itu berpengaruh pada perkembangan motorik-sensoriknya. Dikhawatirkan anak akan mengalami keterlambatan belajar dan gangguan perilaku.
Maaf, saya tidak bermaksud menggeneralisir dan menakut-nakuti para ibu yang saat ini sedang hamil. Saya hanya mengutarakan kemungkinan terburuk dari sebuah komplikasi yang mengacu pada anemia, sehingga saya berharap para ibu hamil yang membaca ini--dimanapun kalian berada--dapat lebih concern pada kesehatan tubuh kalian selama masa kehamilan.
Pernikahan Dini
Angka
kejadian pernikahan kelompok usia di bawah 20 tahun bagi perempuan
masih cukup tinggi di Indonesia. Pada tahun 2014, berdasarkan data
BKKBN, ia mencapai 48% dari 2,5 juta pernikahan per tahunnya, dengan
kisaran usia 15-19 tahun. Bisakah kamu bayangkan, bagaimana jika separuh
generasi mendatang negeri ini lahir dari pernikahan itu, dan yang muncul
kemudian adalah seperti apa yang saya gambarkan di paragraf-paragraf
sebelumnya? Belum lagi, kondisi psikis ibu muda--yang sebenarnya masih
remaja dan sangat emosional itu--tidak siap untuk bertanggung jawab
terhadap perannya sebagai istri dan ibu sekaligus dalam satu waktu. Ini
akan menjadi hambatan tersendiri dalam proses mendidik dan pembentukan
karakter anak.
Jadi,
niat awal pernikahan yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan
ekonomi keluarga, sebenarnya hanyalah bentuk dari penyelesaian suatu
masalah dengan menciptakan masalah yang baru. Semacam pengalihan isu
gitulah. Keyk pengalihan isu dari freeport ke si sekseh Nikita Mirzani
tempo lalu. Bedanya, pengalihan yang diciptakan melalui pernikahan ini
justru memiliki dampak yang lebih besar, karena berkaitan erat dengan
masa depan ketahanan nasional bangsa Indonesia.
*hening
Saran
saya.. ah, saya ndak pandai ngasih saran ding. Kamu renungkan sendiri
saja ya. Seperti saya yang terus-menerus merenung, memikirkan
matang-matang setiap langkah sebelum benar-benar memutuskan, terutama
soal pernikahan. Sampai terlena, sampai lupa bahwa usia sudah semakin
ranum dan pantas diberi mahar.
Pekalongan, pertengahan Februari 2016
Nice iboook... keep writing ibook
BalasHapusIbooo..proud of you iboo, ditunggu tulisan lainnya 😊😊
BalasHapusIbook ditunggu artikel selanjutnya.
BalasHapus