ARTIKEL TENTANG TERNATE

January 19, 2016 (tuesday at 4:22pm) ...

"Kowe gelem rak nulis artikel?" Tanya seorang teman dari Ternate sana.

"Artikel tentang opo?"

"Ternate."

Sulit bagi saya untuk mengiyakannya. Saya bukan sejenis manusia yang bisa menuliskan hal yang belum pernah saya alami. Saya pernah membuat esai tentang Pekalongan, sebuah kota kecil di pesisir utara Jawa Tengah, tapi itu karena saya sudah tinggal di dalamnya dua puluh tiga tahun lamanya. Saya juga pernah menulis catatan tentang Yogyakarta, tetapi itu setelah kunjungan beberapa hari saya ke sana. Akan menjadi usaha yang keras bagi saya untuk menguraikan kata demi kata tentang Ternate, karena sekalipun saya belum pernah bersentuhan dengannya.

Tetapi bukankah sedang musim yang demikian? Orang-orang berbicara dan menulis tentang sesuatu di luar jangkauannya, tentang perkara-perkara yang sebenarnya tidak mereka kuasai, seperti misalnya: tentang Tuhan, dengan pemahaman sebatas lidah.

Kalau tentang Tuhan saja mereka berani umbar asumsi, kenapa Ternate tidak coba saya jabani?
Maka demikianlah, saya mengerahkan segala daya imaji dan kemampuan mengolah kata untuk menyusun anak kalimat demi anak kalimat menjadi sebuah prosa yang--semoga saja--mengena. Dengan meminjam ruh dan sudut pandang dari teman saya yang tengah tertidur dini hari itu, saya menuliskan ini~

TERNATE: Jejak Sejarah, Kemegahan, dan Sedikit Andai-andai

Membahas soal Ternate tak bisa lepas dari pelajaran sejarah pada masa sekolah dulu. Di mana Ternate hampir selalu disebut bersamaan dengan Tidore--layaknya Goa dan Talo--sebagai dua kerajaan islam yang berpengaruh pada pada era-era awal perjuangan bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah. Saya tidak tahu pasti, apakah uraian mengenai Ternate (dan Tidore) masih kerap dimunculkan dalam buku-buku sejarah di sekolah menengah, dan apakah masih (saja) disampaikan dengan metode pembelajaran satu arah yang seringkali hanya mencetak generasi 'sekali ujian ya sudahlah'. Hingga kemudian nama kesultanan itu menjadi sebatas istilah yang terlupakan, yang bahkan tidak lebih diingat dari barisan para mantan.

Tapi itu dulu. Makin santernya arus informasi yang membanjiri wawasan anak bangsa dewasa ini membuat kita, setidaknya, bisa dengan mudah bernostalgia dengan pengetahuan-pengetahuan lama yang pernah mampir ke sanubari. Atau sekedar menengok kembali apa yang dulu kita selami, meski tidak melulu tentang kisah heroik sebuah entitas dalam mempertahankan eksistensi, maupun perkara-perkara yang dikaitkan dengan agama.

Kamu tahu, pemandangan di sudut-sudut Ternate lebih indah dari itu semua.

Ibarat gadis, Ternate telah tumbuh menjadi remaja. Dan kita sama-sama tahu, dia remaja yang cantik. Saya selalu membayangkan Ternate sebagai negeri yang subur dan makmur, hijau dengan gunung menjulang, biru oleh laut yang membentang, lalu dikelilingi pulau-pulau kecil bak butiran mutiara di luasnya samudera. Dia laksana gunung berapi yang mencuat dari dasar lautan, dan darinya terbentuk sepetak daratan yang cukup luas untuk ditinggali.

Sejak menginjakkan kaki di tanah Ternate pada Oktober 2015 yang lalu, demi menjalankan tugas negara sebagai salah satu abdi di KPPN setempat, saya tidak dapat menahan diri untuk segera mengeksplor keindahan alam Ternate. DSLR Samsung nx3000, Polygon Shimano, dan sepasang Diadora ukuran 43 hanyalah sekian pernik usaha yang saya kumpulkan satu demi satu untuk menemani petualangan di hari-hari mendatang. Bersepeda mengelilingi gunung, menikmati senja di Benteng Kastela, merekam kesyahduan trio pulau Maluku Utara--Maitara, Ternate, dan Tidore--di sepanjang perjalanan, menikmati aura mistis yang melegenda di Danau Tolire, merasai jernihnya air laut di Jikomalamo, dan memacu adrenalin untuk menyelam menyapa karang-karang di laut Sulamadaha adalah contoh betapa berhasratnya diri ini akan wisata alam di Ternate. Terus menerus menjelajah setiap kali datang kesempatan. Hingga pada satu titik di kemudian hari, saya meyakini, semua keindahan ini merupakan serpihan surga yang jatuh ke bumi. Silakan kunjungi album Visite Ternate di akun pribadi Facebook saya, Ophand Albana, dan buktikan kalimat di atas. Hahaha.

Ternate bukan lagi sekedar tanah peninggalan kerajaan bersejarah yang didominasi situs-situs kuno lalu menjadi membosankan karenanya, dia--tanpa banyak disadari para raksasa Jawa--telah menjelma menjadi sebuah kota yang tertata. Dengan penerangan dan tebal aspal yang membentang menghubungkan titik-titik strategis kota ini, jalanan utama Kota Ternate terlalu sayang untuk dilewatkan di atas kendaraan begitu saja. Cobalah berjalan kaki di malam hari, nikmati binar-binar cahaya dari lalu-lalang lampu kendaraan yang membaur dengan pendar remang lampu jalanan, niscaya bias-bias warnanya mampu mengobatimu dari lara tentang seorang wanita. Atau berjalanlah di kala siang, mampir sejenak di bangku panjang dekat Benteng Oranye (Fort Oranje) yang berdiri gagah di tengah-tengah kota, duduk di sana, dan lihat, Indonesia Timur jauh lebih perkasa dari yang kita kira. Di sini, di Ternate, kamu bebas meresapi fajar, menanti detik-detik terbitnya sang mentari di Pantai Falajawa dengan keromantisan yang intim seolah pantai itu adalah milikmu sendiri. Sembari mengagumi kemegahan Halmahera dan Tidore yang masih tertidur di seberang mata. Di sini, di Ternate, kamu dipersilakan membunuh waktu, menguliti luka demi luka yang membusuk bertahun lamanya dengan bercengkerama di bawah syahdu nuansa jingga yang melingkup di sepanjang pantai sebelah utara Jatiland Mall menuju arah Hypermart Ternate. Jangankan Korea Selatan, Eropa pun lewat. Mungkin hanya di sini, kalian bisa menikmati komposisi indah dari sebuah landscape jalanan: laut di sebelah kiri, gunung di sebelah kanan, dan tengah-tengahnya jalan raya. Mungkin juga hanya di sini, kalian bisa merasai serbuan angin segar khas pantai, berbalut kesejukan khas dataran tinggi, dengan panorama gedung-gedung menjulang di pusat kota. Kombinasi yang menarik, bukan?

***

Sore itu, saya tengah membaca sejarah negara Eropa bekas Soviet, ketika tiba-tiba satu pikiran melintas di kepala: "Indonesia juga berpotensi pecah." Saya segera menceritakannya pada salah seorang teman di Jawa.

"O ya? Ditandai dengan...?" Teman saya itu, Ra'ufina namanya, bertanya.

"Indonesia bagian timur berkembang pesat. Berontak. Lalu mengalahkan adidaya Indonesia bagian barat yang sekian lama berkuasa."

"Itu sebabnya kamu berkontribusi terhadap kemungkinan itu, dengan terus-menerus mempromosikan Ternate? Kamu ingin memecah-belah tanah air kita?" Dia tertawa.

"Bisa jadi." Saya ikut tertawa. "Tapi pecah tidaknya negara ini bukan tergantung pada majunya suatu daerah, melainkan sistem buatan manusia. Termasuk juga para penguasanya."

"Jadi?"

"Mari majukan timur!" :D

0 comments:

Posting Komentar