CERITA PERSALINAN #3 : DISANDING

Ada satu doa yang tak pernah absen saya panjatkan ketika hamil; saya ingin bersalin dengan didampingi suami.

Tentu doa-doa lain yang mengharap kesehatan dan keselamatan bagi janin juga terus saya panjatkan. Tapi yang satu tadi tak pernah lupa. Sebab pada saat usia kehamilan saya memasuki minggu ke-28, saya "dipulangkan" ke Pekalongan untuk mempersiapkan persalinan di sana, sementara suami saya melanjutkan hari-hari kerjanya di Ternate. Saya tidak tahu kapan kontraksi rahim akan datang dan kapan saya akan melahirkan, tidak bisa dipastikan (kecuali jika memilih jalan SC). Padahal untuk bisa pulang ke Pekalongan menemani istrinya melahirkan, suami saya perlu mengajukan cuti terlebih dahulu, dan memesan tiket pesawat maksimal H-24 jam dengan lama perjalanan kurang lebih 5 jam (tanpa transit). Tidak bisa serta-merta pulang saat saya mengirim kabar.

Bagaimana nanti kalau saya mendadak kontraksi tapi suami baru bisa pulang esok lusa? Begitu pikir saya. Sehingga doa agar suami bisa mendampingi saat bersalin adalah yang pertama-tama saya garis bawahi.

Sebenarnya ada alasan tersendiri kenapa saya begitu keukeuh ingin melahirkan dengan disanding suami.

• Yang pertama, tentang kenyamanan. Mungkin kebanyakan wanita yang baru pertama kali mau melahirkan lebih memilih untuk didampingi oleh ibu kandungnya selama proses persalinan. Tapi berdasarkan hari-hari yang telah kami lewati dan kekuatan cinta yang dalam--uhuk!--saya merasa lebih nyaman ditemani suami. Biarlah kedua ibu kami mendoakan keselamatan calon cucu mereka dalam jarak. Kami berdua akan berjuang bersama.

• Kedua, saya ingin melihat bagaimana wujud suami saya saat menghadapi istrinya yang akan melahirkan. Dengan kata lain, saya ingin menilainya lebih jauh, lelaki seperti apakah dia.

• Ketiga, ini yang terakhir dan paling penting, saya ingin dia melihat secara langsung proses lahirnya anak kami. Melihat istri dan bayinya sama-sama berjuang demi pertemuan yang mengharukan. Dan berharap, semoga dengan menyaksikannya langsung bisa menjadi booster tekad baginya untuk menjadi ayah yang (lebih dari sekadar) baik.
Tapi.. doa ini ternyata membawa jalan jawabnya sendiri. Dan jalan itu.. bukan suatu jalan yang mulus begitu saja sesuai rencana.

Pekalongan, 25 April 2017

Saya kelewat panik ketika janin dalam kandungan saya tak menunjukkan tanda-tanda ingin lahir padahal waktu terus berjalan mendekati tanggal perkiraan. Empat puluh minggu kurang 4 hari, saat itu. Dan akhirnya saya memutuskan untuk kembali memeriksakan kandungan saya via USG ke Dokter Spesialis ObsGyn pilihan; dr. Suryo, SpOG. Dalam hati berkata, jika semuanya baik-baik saja, saya rela menunggu sampai si janin siap untuk bertemu dengan ibunya. Sekalipun harus menunggu sampai 41 minggu. Tapi jika terjadi sesuatu.. semoga saja tidak.

Adalah hal yang normal jika sampai usia 40 minggu janin belum juga lahir. HPL hanyalah tanggal perkiraan, bukan tanggal pasti. Saya tahu betul akan hal itu. Tapi entah kenapa kepanikan tetap melanda. Mungkin karena ini adalah kali pertama saya mengalaminya sendiri. Sehingga sudut pandang saya yang sebelumnya berada pada kacamata seorang bidan, kini bergeser menjadi seorang wanita awam yang gugup menantikan persalinannya.

Hasil USG menunjukkan bahwa air ketuban saya keruh dan jumlahnya di bawah index normal. Minimal 10, saya hanya 9. Artinya, janin saya tidak boleh berlama-lama di dalam rahim karena bisa beresiko menelan air ketuban yang terlanjur keruh itu.

Saya menghela napas. Mencoba tenang meski sebenarnya panik. Dr. Suryo memberi batas waktu sampai 3 hari. Jika 3 hari ke depan belum juga ada tanda-tanda persalinan seperti kontraksi rahim atau keluarnya lendir bercampur darah, saya disarankan untuk melakukan induksi persalinan, atau istilah awamnya; dipacu.

Malam itu juga saya menelepon suami yang masih berada di Ternate.

"Ya, Dek? Gimana hasilnya?"

"Ketubanku keruh dan dikit, Mas. Dokter menyarankan induksi."

"Apa itu?"

"Disuntik obat untuk merangsang kontraksi, biar janinnya segera lahir." Terdiam sejenak, lalu, "Maaf ya, Mas." (Maaf karena tidak bisa menjaga kondisi kandungan tetap baik sampai akhir) :(

"Lho kok maaf. Kapan induksinya?"

"Secepatnya, Mas."

"Yowis kamu yang tenang, ya. Ini aku coba cari tiket pesawat dulu. Semoga dapet penerbangan besok biar bisa langsung pulang."

Dia tahu saya takut sebab suara saya bergetar meski tak kentara. Tapi di luar dugaan, dia meresponnya dengan sangat tenang. Tidak ada sedikitpun kepanikan yang tergambar seperti yang sering terjadi pada suami-suami muda yang istrinya mengalami "sedikit masalah" pada proses persalinannya.

Belakangan saya tahu, alih-alih panik, dia justru senang dengan kabar dari saya malam itu. Dia senang, karena akhirnya akan bertemu dengan jagoan kecilnya.

"Halo, Dek. Ini aku udah beli tiket pesawat. Alhamdulillah masih bisa booking tiket buat besok. Penerbangan siang. Nanti aku telepon Ibu biar pesan kamar di RSIA. Kamu yang tenang ya. Bismillah aja. Malam ini buat istirahat, jangan begadang. Besok aku pulang."

Saya tidak tahu apakah jalannya akan berbeda seandainya saya tidak berharap untuk disanding suami. Saya tidak tahu. Saya tentu berharap bisa melahirkan dengan proses yang alami, dengan seminim-minim trauma, tapi ternyata keinginan untuk disanding suami jauh lebih besar dari yang dapat saya perkirakan. Dan keduanya seperti memaksa alam bawah sadar saya untuk memilih satu.
Pada akhirnya, Tuhan menjawab doa saya. Mengirimkan seorang suami yang menemani proses persalinan saya dari awal sekali sampai lahirnya bayi. Menjadi orang pertama yang menangis dan mencium saya, sembari berbisik, "Terima kasih, sayang."

Jakarta, pertengahan Juli 2018

0 comments:

Posting Komentar