Saya kira…

Saya kira saya akan baik-baik saja. Sebab mengasuh satu bayi dan satu balita ternyata gak repot-repot amat. Dengan luka operasi yang masih basah, saya tetap bisa mengerjakan tugas-tugas rumah tangga seperti nyuci, nyapu, ngepel, masak, sambil menyusui Elang dan membersamai Singa bermain. Saya kira saya akan baik-baik saja, sampai kemudian hari itu tiba.

Singa berlarian di dalam rumah ketika saya tengah memandikan elang di ruang depan, tiga minggu setelah melahirkan. Karena berat lahir Elang tak sampai 2 kilo, saya tidak memandikannya langsung di dalam bak. Saya hanya mengelap tubuhnya menggunakan sabun, waslap, dan air hangat yang saya siapkan dalam wadah plastik di samping perlak kasur milik Elang. Hal yang saya sesali kemudian adalah wadah air itu tak langsung saya singkirkan segera setelah Elang selesai mandi. Saya lebih memilih untuk mengeringkan tubuh Elang menggunakan handuk lalu memakaikannya pakaian ganti, tepat ketika Singa berlari mendekat dan tak sengaja menginjak wadah air. Air yang telah bercampur sabun itu tumpah, dan Singa jatuh terpeleset dengan posisi wajah menghantam lantai. Terdengar suara berdebam yang cukup keras, diikuti jerit tangis Singa. Hati saya mencelos, seperti tersayat pedang panas.

Saya langsung menghampirinya dan mengecek kondisinya dengan hati kalut. Gusi depannya berdarah. Bibir atasnya jontor dan memar. Segera saya peluk anak itu. Saya ketakutan. 

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja rasa bersalah itu muncul dan menjalar menggerogoti mental saya. Rasa bersalah yang sama yang saya rasakan tiga minggu sebelumnya, ketika Orca dinyatakan tiada. Rasa bersalah yang menggiring saya menuju ketakutan akan kehilangan. Yang kemudian membuat pikiran-pikiran negatif berkecamuk dalam kepala, dan pada satu titik berkata pada diri sendiri, "Apakah saya yang telah membunuh anak saya?"

Saya meraung-raung. Tangis saya bahkan lebih keras dari Singa. Saya ketakutan.

"Maafin ibuk ya, Le. Maafin ibuk." Saya mengulang kalimat itu berkali-kali. Sambil menggendongnya erat. Tak saya pedulikan nyeri luka jahit yang tertekan berat Singa. "Asqi sakit ya? Giginya sakit kena lantai? Maafin ibuk ya, sayang."

Saya rasa, saya hampir gila saat itu. Saya menangis tanpa henti sambil terus memeluk Singa yang juga menangis. Elang tetap di atas kasurnya, diam dalam kehangatan selimut. 

Selang beberapa saat akhirnya saya sadar bahwa saya butuh bantuan. Saya harus meminta bantuan agar mampu bertahan dalam kondisi mental yang gak mudah ini. Saya pun menelepon suami, memintanya untuk pulang saat itu juga karena Singa jatuh dan saya ketakutan.

Suami pulang dengan segera. Dan seminggu kemudian, saya berserta anak-anak dipulangkan ke rumah orang tua di kampung. Agar saya ditemani.

Saya kira saya akan baik-baik saja. Tapi ternyata kehilangan itu meninggalkan trauma. 

Jakarta, 30 Maret 2020

0 comments:

Posting Komentar