FRANKY SAHILATUA DAN TEORI ASIMILASI, KATANYA

Pernah suatu kali Bapak bercerita, tentang seorang musisi bernama Franky Sahilatua. Yang kadang kala lagu-lagunya kami nikmati sambil bersila dan tersenyum di atas dipan-dipan. Dan di bawahnya mengalir sungai-sungai yang airnya serupa susu. *kok jadi kayak ayat tentang surga, Up?

"Franky itu pemuja alam," Bapak berkata pelan.

"Ha?" Entah bagaimana saya langsung memikirkan tentang animisme dan dinamisme, lalu dengan unyu-nya bertanya, "Memangnya Franky itu penganut Sunda Wiwitan, Pak?"

Bapak tertawa, "Haha."

Duh, kalo lagi tertawa gitu Bapak kelihatan tambah ganteng.

"Bukan begitu," katanya, "Kalau dicermati dari lagu-lagunya; Musim Bunga, Langit Hitam, Biarkan Hujan, bisa disimpulkan bahwa Franky itu seorang penyuka alam."

Saya ber-Oh ria. Membayangkan Alam yang nyanyi Mbah Dukun. Barangkali mereka menjalin hubungan.

"Tapi, seiring waktu karakter karyanya berbaur." Bapak berkata lagi. Bayangan tentang Alam pun membuyar. "Ketika dipertemukan dengan Iwan Fals, lagu-lagunya lebih banyak mengandung kritik lokal, dan menggambarkan kehidupan sekitar. Atau istilahnya; tumaritis." Kemudian Bapak menyebutkan judul lagu hasil kolaborasi mereka berdua, seperti Terminal, dan Orang Pinggiran. Sejenak, menghela napas. "Nah, ketika bertemu dengan Ainun Najib.."

"Siapa, Pak?" Saya memotong ucapan Bapak dengan tidak sopan.

"Emha Ainun Najib. Cak Nun, Cak Nun."

"Oh. Hihi." Saya tertawa kecil, teringat saat-saat mesra bersama Mas Noe, putra Cak Nun, dulu.

"Ketika bertemu Ainun Najib, lagu-lagunya lebih bertema sosial, sarat akan politik dan kritik kebangsaan, tapi dalam balutan keislaman." Bapak melanjutkan, menyebut-nyebut Perahu Retak dan Padang Bulan sebagai dua lagu unggulan.

"Wah, berarti Franky mengalami banyak perubahan ya, Pak?"

"Sebenarnya, Nduk. Bukan perubahan. Bagaimana pun, kolaborasi mereka sama sekali tidak menghilangkan karakter asli Franky. Begitu pun dengan Iwan Fals, juga Ainun Najib. Mereka hanya berbaur, tidak lebur."

Barangkali Bapak sedang mencoba menjelaskan, makna pembauran dua unsur dengan tetap mempertahankan sifat khasnya. Seperti roti dan susu dalam lezatnya Energen, mungkin. Atau istilah kerennya, asimilasi. Bener gak ya? Bahwasanya dalam hidup, masing-masing dari kita pasti akan saling berinteraksi, lalu hasil interaksi itu sedikit banyak akan berpengaruh pada sewujud karya, lebih-lebih karakter pribadi kita.

Mungkin sebab itulah lagu Tombo Ati mengajarkan kita untuk berkumpul dengan orang-orang sholeh. Agar ikut sholeh lah kita, atau minimal, dapet jodoh orang sholeh.
Mungkin sebab itu pula lah ada pernikahan. Agar interaksi dan pembauran yang dimaksud bisa berlangsung terus-menerus, hingga beranak-pinak.
Nah, nanti Mas. Kalau kita menikah (hatcing!), kita juga mesti melakukan pembauran itu, tanpa menghilangkan karakter asli kita. Saya tetap anggun (?), dan kamu tetap ranum (matang, dewasa), tapi dari situ kita berkarya menghasilkan anak-anak yang santun.
Mungkin begitulah maksud Bapak. Atau hanya saya sendiri yang mengira-ngira.

Pekalongan, 26 Februari 2015

0 comments:

Posting Komentar