RUANG NIFAS

Sudah sejak lama saya memilih diam saat datang godaan untuk menghakimi seseorang dengan dalih-dalih agama. Melakukan penilaian tantang benar dan salah dari satu sudut pandang; melulu islam, tapi tak pernah jelas makna islam yang bagaimana yang dimaksud.

Ruang nifas--sebuah ruang perawatan untuk hampir semua jenis diagnosa kebidanan di luar proses bersalin--tempat saya bekerja sejak satu setengah tahun ke belakang, memaksa saya meletakkan sikap 'main hakim' itu di laci paling bawah sendiri. Bukan perkara gampang, tentu saja. Tapi itulah satu-satunya pilihan paling waras untuk tetap menjadi manusia yang berguna. Bukankah sebaik-baik manusia adalah manusia yang berguna, Mas?

Di ruang ini, bukan lagi hal yang menakjubkan untuk sekedar menemukan seorang janda yang terlambat haid dua bulan, padahal masa iddah baru saja terlewati dan dia tidak disentuh mantan suaminya sejak enam bulan sebelum berpisah. Itu sudah biasa. Saya menempatkan diri sebagai tenaga kesehatan yang peduli mas-mas, dan saya katakan itu hal biasa. Tidak perlu dipusingkan. Berbeda kiranya jika saya memposisikan diri sebagai ustadzah karbitan-online-yang-celalu-ingin-dakwah-dan-mengkampanyekan-menikah lalu bekerja di rumah sakit. Yang mungkin terjadi adalah saya menolak merawat pasien-pasien tertentu karena saya anggap mereka berdosa. Calon penghuni neraka. Sebagaimana janda yang tiba-tiba hamil itu. Bla bla bla... Dan itu wagu. Saking wagunya sampai saya ingin menyudahi saja segala praktik kejombloan ini.

Nifas serupa saksi lanjutan, bagaimana anak perempuan kelas 2 SMP itu agak kaku ketika belajar menyusui bayi hasil bermainnya dengan kakak senior. Juga saksi bagi perempuan cantik yang nyaris mati kehilangan darah sebab kemaluannya robek dimasuki keras-keras oleh senjata pacarnya. Dan dalam waktu yang tak lama berselang, menjadi tempat perawatan sementara bagi perempuan muda dengan keterbelakangan mental yang dihamili oleh adik ibunya, setelah lelaki kurang gawean itu kabur tiga bulan pascamenanam. Perempuan itu, jangankan menyadari keberadaan janin dalam rahimnya, terhadap dirinya sendiri pun dia tidak peduli. Dan dia sudah harus menanggung beban sakit saat rahimnya mulai berkontraksi. Lalu orang tuanya... Ah, jiangkrik, memang. Tega betul takdir ini menyapa mereka. Belum lagi jika yang datang adalah pasien keguguran yang mengaku sudah bersuami tapi buku nikah dan kartu keluarga pun ia tak punya. Ya mau bagaimana? Tetap kami terima. Semua itu bukanlah kekacauan yang harus diselesaikan di rumah sakit. Lebih-lebih lagi di ruang nifas.

Nifas itu tentang bagaimana seorang perempuan mendapatkan perawatan optimal dan pulang dengan seminim-minim keluhan. Membuat saya sadar, ada banyak sekali tindakan yang bisa dilakukan tanpa menempatkan penghakiman moral agama di garda paling depan.
*kemudian hening

***

Pagi tadi, satu SK terbit. Ada rollingan besar-besaran, di mana beberapa petugas dari satu ruangan mendapat giliran pindah ke ruangan lain dalam disiplin ilmu yang sama. Dan saya termasuk yang namanya tercantum dalam daftar.

Per Maret 2016 nanti, saya akan dipindah ke ruang perinatologi: ruangan khusus untuk bayi bermasalah (dengan kegawatan dan atau riwayat kelahiran yang buruk). Saya tidak tahu apa yang nanti bisa saya berikan dan dapatkan di sana. Bisa jadi lebih banyak. Yang jelas, saya akan mempelajari sesuatu yang sama sekali baru. Bukan, bukan. Bukan tentang bagaimana cara membuat bayi. Itu sudah saya kuasai bahkan sebelum lulus kuliah kemarin #Eh
Ini tentang bagaimana mengupayakan agar bayi-bayi di sana bisa bertahan hidup, dan menjadi generasi yang berkualitas di kemudian hari.
*nggayamu, Up!
Hahahahaha~ ngomong tok ki pancen gampang kok.

Pekalongan, 28 Februari 2016

1 komentar: